Awareness Christianity

Inside Out Christian Living

Archive for the tag “kepemimpinan gereja”

Kepemimpinan Gereja

A. Filosofi Kepemimpinan Dunia
Ketika berbicara tentang kepemimpinan dalam dunia, yang amat disayangkan hari-hari ini juga terjadi dalam gereja, maka kita akan mendapatkan nilai-nilai kepemimpinan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan adalah Kekuasaan/ Memerintah.
2. Kepemimpinan adalah Otoritas dalam Struktur/ Kedudukan.
3. Kepemimpinan adalah Pengendalian.

B. Filosofi Kepemimpinan Alkitab
Dalam Alkitab, kita melihat setiap disebutkan tentang kepemimpinan, maka akan dihubungkan dengan hal sebagai berikut:
1. Kepemimpinan adalah Kehambaan/ Melayani. (Markus 10:43-44).
2. Kepemimpinan adalah Pembapakan (1 Tesalonika 2:11).
B – Bertumbuh
A – Arah
P – Pondasi
A – Anugerah
K – Karakter

3. Kepemimpinan adalah Keteladanan (1 Kor 4:6; 2 Tim 3:10).

C. Syarat Kepemimpinan Alkitabiah
Alkitab memuat beberapa kriteria untuk pemimpin dalam jemaat:
1. Keintiman yang bertumbuh/ hubungan dengan Tuhan (Yoh 15:1-6).
2. Karakter Ilahi (1 Tim 3:2-3).
3. Autentisitas (bertindak seperti yang dikatakan dengan tepat dan sungguh-sungguh).
4. Integritas (terpadunya gaya hidup dan keyakinan) (Amsal 10:9; 11:3).
5. Kerendahan Hati.
6. Mahir membangun hubungan (Mat 23:8; Yoh 15:15).

D. Issue tentang Otoritas dan Ketaatan
Otoritas nampaknya menjadi topik yang hangat pada hari-hari belakangan ini. Apalagi ketika kita berbicara tentang kepemimpinan, nampaknya topik tentang otoritas dan ketaatan tidak dapat dilewatkan. Untuk memahami hal ini, pertama kita harus mengerti bahwa ada dua kata yang mempunyai aspek yang berbeda dengan apa yang kita sebut dengan “otoritas”:

1. Dunamis, yang biasanya diterjemahkan dengan “kuasa”. Yang memiliki Kuasa adalah: Allah, Yesus, Roh Kudus, malaikat-malaikat, setan-setan, penguasa-penguasa di udara. Manusia tidak memiliki kuasa dari dirinya sendiri, mereka hanya diberikan kuasa oleh yang memiliki kuasa di atas.
2. Exousia, kata ini biasa diterjemahkan sebagai “kuasa” atau “otoritas”. Daftar dalam PB yang memiliki exousia sama dengan yang memiliki dunamis. Akan tetapi daftar diperluas sampai kepada manusia. Raja memiliki otoritas untuk memerintah (Roma 13:1-2), murid-murid Yesus memiliki otoritas atas sakit penyakit dan roh-roh jahat (Mat 10:1). Orang Kristen memiliki otoritas atas bebrbagai hal dalam kehidupan mereka: benda-benda milik (Kis 5:4), makan, minum, menikah (1 Kor 11:10). Walaupun demikian PB tidak pernah mengatakan bahwa orang Kristen memiliki otoritas atas sesama orang Kristen. Kecuali dalam 2 Korintus 10:8 dan 13:10 di mana Paulus berkata bahwa ia mempunyai otoritas untuk membangun bukan untuk meruntuhkan. Dalam hal ini ada tiga penjelasan:
a. Di sini Paulus tidak mengatakan bahwa ia mempunyai otoritas “atas” seseorang tetapi ia mempunyai otoritas “untuk” suatu tujuan.
b. Dalam bagian ini, Paulus berbicara sebagai seorang “yang bodoh”.
c. Konteks surat ini ditandai dengan nada bujukan (persuasi). Jika ia mempunyai otoritas atas jemaat, mengapa ia kuatir dan membujuk? Bukankah cukup dengan memerintah mereka?

Kalau demikian, kepada siapa kita harus taat? Jika kita melihat penggunaan kata “taat” (hupakouo) dalam PB, maka kita akan melihat bahwa kita diharuskan taat kepada Allah (Roma 10:16), doktrin rasul-rasul (Fil 2:12, 2 Tes 3:14), anak-anak kepada orang tua (Efesus 6:1), hamba kepada majikan (Ef 6:5). Tidak pernah dikatakan bahwa orang Kristen harus taat kepada penatua gereja.
Lalu bagaimana dengan Ibrani 13:17? Jika kita perhatikan kata “taat” di sini. Kata “taat” ini menggunakan kata peitho yang berarti “meyakinkan”. Dalam bentuk yang digunakan di sini maka kata ini berarti “biarkan dirimu diyakinkan oleh” atau “mempunyai keyakinan dalam”. Maka, orang percaya membiarkan dirinya diyakinkan oleh para pemimpinnya, bukan mentaati mereka dengan membabi buta, namun dengan masuk dalam diskusi dengan mereka dan membuka hati kepada apa yang mereka katakan.
Kata lain yang digunakan adalah “tunduk”. Kata yang digunakan di sini tidak menggunakan kata yang biasa dipakai dalam Alkitab untuk “tunduk” yaitu hupotasomai, melainkan menggunakan kata hupeitko dan hanya muncul sekali di sini. Kata ini tidak berkonotasi struktural, namun dengan peperangan setelah seseorang menyerah. Gambaran di sini adalah suatu diskusi yang serius dan pertukaran setelah salah seorang menyerah.

E. Meruntuhkan tembok awam-imam
Satu hal lagi yang perlu dibahas dalam hal kepemimpinan gereja adalah bahwa di dalam gereja tidak ada golongan “khusus” yang berfungsi sebagai ‘imam” (pengantara). Dalam PB, kita semua orang percaya dijadikan “imam-imam” (1 Pet 2:9, Why 1:6). Sistem kependetaan yang kita miliki hari ini merupakan warisan dari PL yang diteruskan lewat “kecelakaan gereja” dalam sejarah. Bibit dari sistem “kependetaan” ini sudah dapat kita lihat dalam akhir abad pertama, yaitu dalam diri Diotrefes (3 Yoh 9-10) dan doktrin Nikolaus yang dibenci Tuhan Yesus (Why 2:6).
Setelah kematian Yohanes sebagai rasul terakhir, gereja menghadapi dua tantangan yang serius: penganiayaan dari luar dan perpecahan karena perbedaan pendapat dan ajaran sesat dari dalam. Untuk mengatasi hal tersebut, maka para pemimpin gereja generasi kedua membuat solusi dengan cara menciptakan organisasi yang lebih terperinci. Ada 3 hal yang mereka lakukan:
1. Para pemimpin membuat suatu garis penerus kekuasaan rohani yang ditarik dari rasul mereka sendiri.
2. Peraturan dasar perintah perlu ditulis untuk disebarluaskan secara umum kepada persekutuan-persekutuan yang ada. Jadi, The Didache dibukukan. Pada dasarnya ini adalah pedoman disiplin yang memberikan petunjuk untuk kehidupan dan kebaktian.
3. Model kepemimpinan dasar diubah. Ignatius of Antioch (35 – 107) mengutarakan doktrin kepemimpinan yang berbeda dari doktrin kepemimpinan Yesus dan rasul-rasul.

Pada tahun 107 M, dalam perjalanan menjadi martir di Roma, dia menulis serangkaian surat. Enam dari tujuh suratnya menekankan hal yang sama. Mereka penuh dengan peninggian akan otoritas dan pentingnya jabatan bishop. Menurut Ignatius, bishop memiliki kuasa tertinggi dan harus ditaati secara mutlak. Dia mengatakan “all of you follow the bishop as Jesus Christ follows the Father…No one is to do any church business without the bishop…Whereever the bishop appears, there let the people be…You yourselves must never act indepedently of your bishop and clergy. You should look on your bishop as a type of the Father…Whatever he approves, that is pleasing to God…”.
Bagi Ignatius, bishop berdiri di tempat Allah sedangkan penatua (presbyter) berdiri di tempat 12 rasul. Hanya bishop yang dapat melakukan perjamuan kudus, menjalankan baptisan, menasehati, mendisiplinkan anggota gereja, mengesahkan pernikahan dan berkhotbah (nampaknya hal ini tidak asing bagi kita). Inilah awal dari “monoepiscopate” dan inilah yang diteruskan menjadi “solo-pastor” dalam gereja-gereja modern.
Pada pertengahan abad ketiga, otoritas Bishop mengeras menjadi jabatan yang pasti. Cyprian of Carthage (200-258), bishop mulai dipanggil dengan sebutan “imam”. Pada abad ketiga para bishop dan presbyter disebut “clergy”. Cyprian mengatakan bahwa di atas bishop tidak ada otoritas lagi kecuali Allah. Siapa yang memisahkan diri dari bishop memisahkan diri dari Allah. Ini adalah awal doktrin “covering/penudungan” yang tidak alkitabiah.
Pada abad keempat, hierarki bertingkat telah mendominasi kekristenan. Paling atas adalah bishop, di bawahnya adalah para prebyster, di bawah mereka adalah diaken, dan di bawah mereka adalah kaum miskin, kaum “awam” yang menyedihkan. Kepemimpinan Hieraki dijumpai di kebudayaan Mesir, Babel, Persia dan Yunani-Romawi. Pada abad keempat, Konstantine mengorganisasi gereja memurut pola distrik Roma. Paus Gregory kemudian membentuk pelayanan gerejawi menurut hukum Roma.
Walaupun para Reformator mempertanyakan banyak aspek dari keimamatan Katolik, namun mereka tetap membawa pemisahan imam-awam dari Katolik dan juga membawa ide “pelantikan/penahbisan”. Hanya sebutannya saja diganti. John Calvin mengubah sebutan “imam” menjadi “gembala/pastor”. Zwingli dan Bucer juga menghargai kata “gembala”. Luther menukar kata “imam” menjadi “pengkhotbah”, “pelayan” dan “gembala”. Para reformator meninggikan para gembala untuk berfungsi sebagai kepala gereja. Menurut Calvin “the pastoral office is necessary to preserve the church on earth in a greater way than the sun, food, and drink are necessary to nourish and sustain the present life”. Menurut Calvin, berkhotbah, membaptis dan melakukan perjamuan Kudus hanya dilakukan oleh para gembala bukan jemaat. Bagi semua reformator, fungsi utama dari seorang pelayan adalah berkhotbah. Luther mengatakan “it is a wonderful thing that the mouth of every pastor is the mouth of Christ, therefore you ought to listen to the pastor not as a man, but as God”. Calvin menambahkan elemen ketiga bagi tugas seorang gembala selain berkhotbah dan melayankan sakramen, dia juga adalah seorang “penyembuh jiwa”. Ini adalah awal dari “pastoral counseling” atau “pastoral care”.

F. Theologi APEPT

Apostolic function: Menghubungkan secara translokal, memulai pekerjaan misi yang baru, dan mengawasi perkembangan mereka
Prophetic function: Membedakan realitas spiritual pada situasi yang ada dan mengkomunikasikan mereka dalam cara dan waktu yang tepat untuk kelanjutan misi umat Allah
Evangelistic function: Mengkomunikasikan injil dengan cara yang tepat sehingga orang berespon dalam iman dan pemuridan
Pastoral function:Menggembalakan umat Allah dengan memimpin, memberi makan, mejaga dan merawat mereka
Teaching function:Mengkomunikasikan hikmat Allah yang dinyatakan agar umat Allah belajar bagaimana mentaati segala perintah Kristus kepada mereka.

Navigasi Pos